Mungkin tak banyak yang tahu, siapa Karaeng Galesong ? Beliau adalah salah seorang Putra Sultan Hasanuddin dari Makassar,Dia juga salah satu tokoh penting di balik perlawanan terhadap belanda.Tapi sayang, jasanya tak begitu banyak dikenang,bahkan makamnya nyaris tak terurus.
Makam Karaeng Galesong berada di Desa Sumber Agung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Uniknya, makam ini tak seperti umumnya makam-makam di tempat lain. Makamnya sempit berbentuk bujur sangkar dengan panjang masing-masing sisinya hanya 40 senti meter.
Ya, itulah makam Karaeng Galesong, yang oleh warga setempat di sebut dengan Makam Mbah Rojo. Disamping samping kiri dan kanan makam Karaeng galesong juga terdapat Sembilan makam lain, yang konon adalah para pengingkut setianya. Berbeda dengan makam Karaeng Galesong.sembilan makam pengikutnya, berukuran normal dan berbentuk persegi panjang. Semuanya seperti makam-makam yang ada di tempat lain. Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada makam Karaeng galesong? Mengapa makamnya kecil dan sempit?
Ini memang membuat penasaran banyak orang. Apalagi setelah tahu cerita sesungguhnya, Tentu saja sukar di nalar. Dan siapapun pasti akan bertanya-tanya, bagaimana semua itu bisa terjadi. Menurut Sutikno (58), Kaur Kesra DesaSumber Agung, kondisi makam Karaeng galesong yang berbentuk unik ini terjadi, karena Panglima Armada Laut Kerajaan Gowa itu, dimakamkan dalam posisi berdiri. Kabarnya lagi, dia dikubur dalam keadaan hidup-hidup.
Ceritanya memang begitu. Hampir seluruh warga di desa ini tahu tentang cerita Karaeng Galesong. Dia di di kubur hidup-hidup oleh Belanda, karena tidak bisa dibunuh dengan cara biasa, terang Sutikno. Karaeng Galesong menurut sejarah hidup pada abad ke-17 Masehi,saat kerajaan Gowa di makassar,berhasil ditaklukkan oleh Belanda.Disanalah kemudian di buat perjanjian dengan pihak Belanda atau VOC,degan nama perjanjian Bungaya.
Saat itu,Sultan Hasanuddin penguasa Gowa,merasa tak dapat berbuat banyak dengan adanya perjanjian ini.Dia akhirnya memilih meninggalkan kerajaan dan meninggal dunia tak lama kemudian. Kepergian Sultan Hasanuddin ini juga di ikuti oleh sejumlah keluarga abdi setianya, salah satu di antaranya,adalah putra kandungnya sendiri , yakni Karaeng Galesong.
Sepeninggal Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesong bertekat melawan kompeni Belanda.Berbekal sekitar 27 ribu tentaranya, dia lantas meninggalkan Sulawesi Selatan dan berlayar menuju ke wilayah Banten. Di Banten, Karaeng Galesong begambung dengan pamannya,yaitu Karaeng Bonto Marranu, yang lebih dulu tiba di sana.Mereka lantas bersekutu dangan Kesultanan Banten,untuk pelawanan terhadap kompeni.
Awal-awalnya, merka berhasil meraih kemenangan. Pihak kompeni yang sebelumnya menguasai wilayah Banten, terdesak dan mundur meninggalkan tempat ini. Tapi itu tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian, kompeni yang menambah jumlah pasukannya,berhasil memukul balik pasukan Kesultanan Banten, yang di bantu para prajurit dari Makassar itu. Keadaan ini membuat Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marranu, terpaksa memilih meninggalkan Banten. Mereka akhirnya berlayar di daerah jepara, lalu di teruskan hingga ke Panarukan, Situbondo, Jawa Timur.
Di Panarukan, Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marranu kemudian bersekutu dengan Laskar dari Madura,yang dipimpin oleh Pangeran Trunojoyo. Dengan jumlah pasukan yang amat besar ini,mereka berencana menggempur Kerajaan Mataram di Jawa Tengah,yang saat itu telah di kuasai dan tunduk dengan Belanda.
Setelah rencana di susun, pasukan gabungan Makassar dan Madura ini kemudian beranjak ke Mataram. Pertempuran pun seketika pecah dan beberapa kali pertempuran, pasukan Karaeng Galesong, Kareng Boto Marranu dan Pangeran Trunojoyo, berhasil menang. Mereka bahkan berhasil menguasai wilayah Plered yang menjadi ibu kota Mataram ketika itu.
Berhasil menguasai Mataram, pasukanTrunojoyo dan pasukan dari Makassar akhirnya memilih mendirikan pusat kekuatan di wilayah Kediri. Mereka meninggalkan Mataram, setelah berhasil menjarah harta kerajaan itu. Tapi sayang,keberadaan pasukan Trunojoyo dan Karaeng Galesong di Kediri,ternyata tidak bertahan lama. Kompeni yang kekuatan jauh lebih besar,akhirnya mampu menupas para pasukan dari Madura dan Makassar itu.
Dalam pertempuran sengit ini, Karaeng Bonto Marranu tewas. Trunojoyo yang saat itu bergelar Panembahan Maduretno, sebagai penguasa baru di wilayah Kediri dan sebagian pesisir Jawa ini, juga di tangkap dan di hukum mati. Namun berbeda dengan dua pahlawan itu. Karaeng Galesong bersama sisa pasukannya berhasil bertahan, Mereka akhirnya melarikan diri ke daerah Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Tapi itu juga tidak bertahan lama.Dengan kekuatan penuh,pasukan VOC dari Surabaya,akhirnya mengalahkan pasukan Karaeng Galesong. Mereka ditumpas habis.
”Kecuali Karaeng Galesong. Beliau tidak dapat di bunuh. Ditembak berkali-kali, di bunuh pakai senjata tajam tetap tidak bisa. Bahkan terakhir di bakar, dia tidak mati juga,” ujar Sutikno.
Kenyataan inilah yang membuat pihak Belanda kebingungan. Berbagai cara sudah di coba, namun Karaeng Galesong tetap belum berhasil di bunuh.
”Dari situ kemudian muncul ide, untuk mngubur Karaeng Galesong hidup-hidup. Dibuatkanlah lubang di tanah,yang hanya cukup berdiri. Dan lubang itulah yang kini jadi makamnya,”cerita Sutikno.
Ya. Dalam keadaan hidup, kaki dan tangan Karaeng Galesong dirantai dengan besi, lalu dijebloskan dalam lubang kuburnya. Dia dikubur dengan cara berdiri.Sedangkan di atasnya di tambal mengunakan semen,dengan harapan Karaeng Galesong tak bisa meloloskan diri.
“untuk lebih meyakinkan Belanda, saat itu juga di perintahkan beberapa pasukan untuk menjaga makamnya. Selama 40 hari, makam itu di jaga hingga di pastikan Karaeng Galesong sudah meninggal dunia, baru kemudian ditinggalkan,” kata Sutikno.
Oleh warga setempat,saat itu Sembilan pengikut setia Karaeng Galesong yang tewas di medan laga,akhirnya dikuburkan. Mereka di kubur di sekitar makam Karaeng Galsong.
Bisa merukunkan suami istri
DIBALIK bentuknya yang masih asli,itu justru menjadi daya tarik tersendiri ,bagi sejumlah orang. Banyak yang mendatangi makam ini, baik untuk berziarah maupun keperluan ngalab berkah. Tujuan untuk ngalab berkah pun beragam.Mulai yang lancar rezeki, sampai yang ingin mendapatkan benda-benda pusaka. Menariknya,soal pusaka sudah banyak yang mengaku berhasil mendapatkanya.
Salah satunya Sutikno sendiri. Beberapa tahun lalu,saat berziarah Sutikno mengaku mendapatkan batu yang berbentuk seperti kerang. Konon, dalam kepercayaan masyarakat Makassar, batu ini di namakan Kulau Tude.
“ini ada kasiatnya.Bisa untuk merukunkan pasangan suami-istri yang terlibat masalah. Selain itu,bisa juga di gunakan sebagai media pelet,”terang Sutikno ,yang mengaku juga pernah mendapingi mantan Walikota Batu,almarhum Imam Kabul, saat ziarah ke makam Karaeng Galesong.
Dikatakan Sutikno, saat ziarah,Imam Kabul,belum menjabat sebagai Walikota Batu Baru setelah ziarah ,tak lama kemudian dia terpilih menjadi Walikota Batu.
”Beliau melakukan ritual disini sampai tujuh hari. Dan selama itu,saya terus yang mendampingi,”ceritanya.
Kisah lain, prihal benda pusaka juga di ungkapkan Mulan Sunoto (63). Tokoh spiritual asli Malang ini juga mengaku pernah mendapatkan pusaka dari makam Karaeng Galesong. Tidak tanggung-tanggung,spiritualis yang akrab di panggil Mbah Pujo ini, menuturkan,dirinya mendapatkan dua pusaka sekaligus, setelah bersemedi selama beberapa hari. Pusaka yang pertama di dapatnya,berbentuk sebilah keris.
“ini di sebut Keris Pemengkang Jagad. Keris ini sama persis seperti yang di miliki GajahMada, patih Majapahit. Menguasai jagad raya,”kata Mbah Pujo,sambil menujukkan Keris yang dia peroleh melalui ritual itu. Sedangkan benda lainnya, adalah secarik kain berwarna pelangi yang berukuran 60X20 sentimeter. Meski sepintas terlihat sederhana namun menurut Mbah Pujo, kain ini adalah potongan dari baju ziarah atau baju perang, yang di gunakan oleh Karaeng Galesong semasa hidupnya.
“Siapapun yang menggunakan kain ini,akan kebal segala macam senjata.Mereka akan kebal bacok dan tembak.Bahkan tidak bisa di bakar,”ujarnya. Untuk membuktikan ucapanya,Mbah Pujo bahkan sempat membakar kain berbentuk pelangi itu,dengan mengunakan korek gas miliknya.Hampir lima menit kain di bakar,lalu di matikkan. Lalu apa yang terjadi? Di luar dugaan, kain yang di bakarnya tak sedikitpun rusak atau hangus. Bentuknya masih utuh, tetap seperti sedia kala. Bahkan tak terasa panas saat di pegang meski baru di bakar.
Ditemukan Berdasarkan Catatan Belanda
Sebelumnya tak ada yang tahu siapa sosok yang dimakamkan ditempat ini.bahkan makamnya pun tidak terawat,warga Desa Sumber Agung sendiri,sebelumnya hanya tahu,bahwa sosok yang dimakamkan disini,adalah seorang Bangsawan Keturunan Raja Makassar.
Kabar munculnya identitas orang yang di makamkan di tempat ini,berdasarkan sebuah tulisan dari sejarawan Belanda di sebuah surat kabar. Dimana disebutkan,bahwa yang di makamkan di tempat ini,adalah seorang Panglima Perang asal Daerah Makassar, yakni Karaeng Galesong.
Berawal dari munculnya catatan sejarawan Belanda itulah,akhirnya dilakukan oleh kepala Desa(Kades)Achmad Khoiri, yang menjabat sebelum kepala desa. Saat itu, tahun 2001,Achmad Koiri terbang menuju ke Kerajaan Gowa, di Sulawesi selatan.
Disana Kades Achmad Koiri ditemui sejumlah bangsawan Makassar. Mereka lantas membenarkan perihal makam Karaeng Galesong yang berada di Malang, Jawa Timur, setelah berujuk pada sejumlah catatan sejarah.
Sebagai oleh-oleh, Kades Achmad Koiri juga di berikan silsilah keluarga Kerajaan Gowa, dimana disitu terdapat nama Karaeng Galesong, sebagai putra Sultan Hasanuddin, Pahlawan nasioanal yang juga Raja Gowa. Sepulang dari Makassar, Kades Achmad Koiri yang telah mengetahui identitas makam tak terurus ini, bermaksud memperbaikinya. Dia ingin membangun makam Karaeng Galesong agar lebih baik.
Tapi sayangnya, niat itu urung terlaksana.
”Tiba-tiba muncul banyak kelabang di lokasi makam. Hal itu terjadi sampai berhari-hari.Setelah di lakukan kontak batin,ternyata arwah Karaeng Galesong tak ingin makamnya di bangun megah. Dia ingin bentuk makamnya yang sederhana.Yang penting di rawat dan di bersihkan,”terang Sutikno.
Karena hal itulah, sampai saat ini makam Karaeng Galesong dan Sembilan pengikutnya,tetap seperti semula.Makam-makam ini,hanya di buat dari susunan batu bata kuno yang telah di penuhi lumut-lumut hijau. Sebagian bata tersebut juga sudah lapuk karena termakan oleh usia.
Yang sedikit berbeda saat ini, hanyalah pemasangan sebuah gapura, di pintu masuk menuju lokasi makam. Disana terdapat tulisan besar,”Gapura Astana Karaeng Galesong”,sebagai petunjuk bagi orang-orang yang ingin berziarah. (dik)