SURABAYA – Duka kembali menyelimuti bumi pertiwi, belum kering air mata di lombok, kembali Palu Menjerit, duka Indonesia bertambah lagi. Pasalnya, saudara-saudara kita yang berada di Sulawesi Tengah khususnya Palu, Sigi dan Donggala masih terus berjuang bertahan hidup pasca gempa dan Tsunami.

Mereka tak hanya berjuang bertahan hidup, berbagai kisah pun masih terus muncul dari para korban gempa dan tsunami ditempat tersebut.  Gempa dan tsunami sebesar 7,4 SR yang mengguncang Kota Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat (28/09/2018) hingga kini kondisinya masih belum stabil.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.045 korban meninggal akibat gempa dan tsunami Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah (Sulteng) hingga 10 Oktober 2018 pukul 13.00 WIB.

“Seluruh korban meninggal telah dimakamkan,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers, Update Tanggap Bencana Sulawesi Tengah,” Jakarta, Rabu, 10 Oktober 2018.  Total 2.045 korban meninggal itu terdiri dari 1.636 orang di Kota Palu, 171 orang di Donggala, 222 orang di Sigi, 15 orang di Parigi Moutong, dan satu orang di Pasangkayu di Sulawesi Barat.

“Paling parah kerusakan di Kota Palu. Kerusakan paling parah disebabkan oleh terjangan tsunami,” tuturnya.

Dari seluruh korban, 969 jenazah dimakamkan secara massal dan 1.076 dimakamkan oleh pihak keluarga. “Seluruh Korban sudah dimakamkan.  Karena jenasah korban yang ditemukan sudah mulai tidak baik, sudah mulai menimbulkan bau,” ujar Sutopo.

Sementara, BNPB mencatat sebanyak 10.679 korban mengalami luka-luka, dengan rincian 2.549 korban luka berat dan 8.130 korban luka ringan. “Korban hilang yang tercatat sebanyak 671 orang,” imbuhnya.

Lebih lanjut Sutopo menuturkan, sebanyak 82.775 jiwa terpaksa mengungsi akibat bencana itu. Dengan rincian 74.044 jiwa yang mengungsi di 112 titik di Sulawesi Tengah dan 8.731 orang di luar Sulawesi Tengah.

Sutopo menjelaskan, sebanyak 67.310 unit rumah mengalami kerusakan yang tersebar di Kota Palu dengan jumlah 65.733 unit rumah, di Sigi dengan jumlah 897 unit, dan di Donggala dengan jumlah 680 unit rumah. Sementara sebanyak 99 unit fasilitas peribadatan dan 12 titik jalan terdampak bencana itu.

Kemudian, sebanyak 20 unit fasilitas kesulitan juga ikut terdampak dengan rincian satu rumah sakit, sepuluh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), empat puskesmas pembantu, dan lima pusat kesehatan desa.

“Evakuasi ditargetkan selesai tanggal 11 Oktober 2018 sesuai dengan masa tanggap darurat yang ditetapkan dan diharapkan tidak ada daerah yang terisolir, tidak ada kekurangan bantuan, dan daya dukung masyarakat normal artinya aktivitas masyarakat kembali normal,” tegasnya.

Sutopo menuturkan, hingga saat ini seluruh tim gabungan untuk pencarian dan penyelamatan korban terus melakukan proses evakuasi korban. terhitung dari gempa Donggala berkekuatan 7,4 skala richter pada 28 September, maka masa tanggap darurat menjadi 14 hari hingga 11 Oktober 2018.

“Kalau korban tidak ditemukan sudah 14 hari sehingga dalam hal ini dinyatakan hilang. Bukan berarti total tidak dilakukan pencarian, tetap dilakukan pencarian cuma kekuatan baik personil maupun peralatan dikurangi,,” pungkasnya.

Masjid Hanya Dilewati Air Bah                      

Bencana gempa dan Tsunami di Palu, Sigi dan Donggala juga meninggalkan beberapa cerita yang mungkin tak masuk logika. Satu diantaranya adalah bangunan Masjid Jami Pantoloan di Kelurahan Pantoloan, Kecamatan Tawaeli, Palu, Sulawesi Tengah. Disaat bangunan disekelilingnya telah luluh lantak diterjang tsunami, kondisi masjid ini tetap berdiri kokoh. Tak ada satu pun terlihat kerusakan di bangunan masjid seperti bekas terjadi gempa dan tsunami yang terjadi di tempat itu.

Padahal, lokasi masjid berwarna hijau itu hanya berjarak sekira 50 meter saja dari pantai dan Pelabuhan Pantoloan.

‎Muhammad Alif Firmanyah (18), saksi mata yang saat peristiwa tsunami berada di dalam Masjid Jami Pantoloan menyebut masjid ini sangat nyata dilindungi dari bencana maha dahsyat itu.

Saat kejadian gempa mengguncang, Alif dan para jamaah hendak menunaikan salat maghrib berjamaah di masjid yang menurut cerita warga telah dibangun sejak Tahun 1936.

Alif menceritakan saat adzan Maghrib tengah dikumandangkan, tiba-tiba terjadilah gempa yang begitu dahsyat. Para jamaah pun langsung lari berhamburan keluar karena takut tertimpa bangunan.

‎Namun, sang muadzin tetap meneruskan kumandang adzannya hingga selesai baru kemudian lari keluar masjid. ‎”Saya waktu itu sedang ngambil air wudhu. Adzan itu belum selesai berkumandang tiba-tiba diguncang gempa,” kata Alif ditemui di Masjid Jami Pantoloan, Sabtu (13/10/2018).

Alif menuturkan gempa itu membuat banyak jamaah yang berjatuhan ‎sampai terpental keluar pagar masjid. Mereka pun terus berdoa dan melantunkan dzikir di tengah kepanikan yang terjadi.

“Waktu gempa sampai ada yang tersalto keluar sampai pagar. Semua orang berdzikir waktu gempa,” ujarnya menceritakan saat-saat mencekam itu terjadi.

Alif menceritakan gelombang air tsunami yang begitu tinggi dan kencang itu sama sekali tak menyerang masjid tersebut.

‎Bahkan, ia menyebut gelombang air yang setinggi pohon kelapa itu justru melompati masjid tersebut dan terbelah setelah melewati kubah masjid.

“Air laut tidak masuk ke masjid sama sekali. Bahkan, ke halaman masjid pun tidak masuk, tapi dia naik ke atas melompati kubah masjid ini,” kata ‎Alif.

Melihat kejadian itu, Alif dan para jamaah yang ada di ‎masjid pun dibuat terpana. Mereka tak henti memanjatkan doa dan dzikir atas mukjizat yang baru saja disaksikannya. “Kita semua disini terus berdzikir,” kata Alif.

Setelah gelombang tsunami berhenti, barulah air masuk ke dalam masjid ‎melalui bagian belakang. Namun air itu tenang dan tak bergejolak.

“‎Air masuk ketika sudah surut. Posisi air datang dari belakang masjid dan setinggi sekira selutut,” ucapnya.

Ismail (46) jamaah yang juga berada di dalam masjid saat tsunami terjadi mengakui kalau air tsunami sama sekali tak menyerang Masjid Jami Pantaloan. Menurut dia, semua itu terjadi semata karena kuasa dan perlindungan ‎Allah SWT.

“Ini murni karena k‎uasa Allah karena memang tidak masuk logika. Sehari-harinya masjid ini dipakai untuk salat berjamaah, pengajian dan kumpul warga,” kata Ismail. (net)

By redaksi